*Tentang Jusuf Rizal*
Saya mengenal “namanya” pada 24 Januari 1991. Kala itu, saya bersama Jusuf sama-sama menerima penghargaan kejuaraan menulis tetang ekspor Indonesia. Saya juara kedua, memperoleh tropi Menteri Muda Perdagangan Sudrajad Djiwandono, sedangkan Jusuf Rizal juara ketiga menerima tropi Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Rudy Lengkong.
Sejak itu, saya seringkali berjumpa Jusuf dalam berbagai tugas liputan tentang ekonomi. Kala itu, Jusuf adalah wartawan Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogjakarta. Dia ditugaskan di Jakarta. Sedangkan saya wartawan Harian Neraca yang terbit di Jakarta. Saya mulai merasa akrab dengannya setelah ia nyambi menjadi semacam PR (Public Relation) sebuah perusahaan kosmetik terkemuka Jakarta. Ia mengundang wartawan, termasuk saya dalam sejumlah event perusahaan itu.
Saya juga beberapa kali diundang dalam acara asosiasi pengusaha santri, Himpunan Santri Pengusaha Indonesia atau HISPI. Karena seringnya dia mengundang saya dalam berbagai event HISPI, saya mengenal Jusuf lebih sebagai PR, bukan sebagai wartawan. Dia selalu tampil necis, berdasi, dan berkelas.
Pada 1998, pasca tumbangnya Orde Baru, saya tak lagi berjumpa dengannya. Saya sudah tidak aktif lagi di media harian. Saya sudah melupakan pria berdarah Madura yang akrab dipanggil Ucok oleh beberapa koleganya itu. Maklum, dia lahir di Medan.
Sampai kemudian saya mendengar namanya lagi pada 2004, saat SBY menjadi presiden, menggantikan Megawati Soekarnoputri. Kala itu saya menjadi Wakil Pemimpin Redaksi Harian Proaksi.
Dalam sebuah rapat perencanaan seorang redaktur mengajukan usul berita utama tentang dugaan korupsi oleh sejumlah kepala daerah. Menariknya, sumber berita itu adalah Jusuf Rizal salah seorang anggota tim sukses SBY. Sampai pada detik itu saya nggak ngeh bahwa sang nara sumber itu adalah teman lama saat sama-sama di lapangan dulu. Namun keesokan harinya, begitu koran terbit, di situ ada foto sang nara sumber yang membuat saya terhenyak. “Sungguh, saya mengenal pria ini,” ujarku kepada sejumlah awak redaksi yang pagi itu mempersiapkan rapat.
Helmy, salah seorang reporter, memberi kartu namanya kepadaku. Saya langsung menyambutnya. Kartu nama itu saya selipkan di dompet. “Nanti saya hubungi dia,” kataku. Saya tidak lantas langsung menghubungi Jusuf, sampai kemudian Harian Proaksi kehabisan nafas dan berhenti terbit. Beberapa teman melakukan ikhtiar mencari investor, namun hasilnya nihil. Saya pun melakukan hal yang sama. Pada saat itulah saya teringat kartu nama yang terselip di dompet itu.
Ya, nama Jusuf Rizal kembali mengapung dalam ingatanku. Oh, tentu dia sekarang sudah kaya raya karena dekat dengan Istana, pikirku. Tapi saya ragu, jangan-jangan dia sudah lupa denganku. Saya memecet nomor dengan setengah ragu. Tersambung. Saya mengucapkan salam dan dia pun menyambut dengan salam. Saya sebut nama lalu bertanya: “Masih ingat dengan Miftah?”
“Oh ya, apa kabar Miftah Yusufpati,” sambutnya menyebut nama saya secara lengkap. Dia ternyata mengingat saya dengan baik. “Apa yang bisa dimainkan?” tanyanya. Saya tergagap. Tak menyangka, Jusuf langsung masuk ke pokok persoalan. Tanpa basa-basi. Saya akhirnya minta waktu untuk bertemu. Dia mengiyakan, lalu menyebut waktu dan tempat pertemuan.