SUARANEGERI || PASANGKAYU – Kejaksaan RI dibawah kepemimpinan Jaksa Agung Burhanuddin dan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi memasuki usia ke-60 di Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) tahun 2020 ini.
Kinerja Kejaksaan dibawah Jaksa Agung Burhanuddin menjadi sorotan publik, meski banyak cibiran namun tak sedikit yang mengapresiasi, namun semua itu untuk mendukung Kejaksaan yang bersih, profesional, berintegritas.
Karenanya pada peringatan HBA ke-60, tema diusung, sebagai langkah kebersamaan Korps Adhyaksa ditengah perjalanannya yakni ‘Terus Bergerak dan Berkarya’ sebagai tanda ketulusan dalam berkerja. Meski masih ada celah oleh oknum-oknum tertentu yang dinilai belum menerima sebuah perubahan yang lebih baik tersebut.
Bahkan, berbagai kinerja yang menjadi perhatian publik, belum tertangkapnya sang buronan BLBI, Joko S. Tjandra yang menurut pengakuan sempat hadir ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni 2020 silam.
Bahkan, masuknya Joko Tjandra ke Indonesia membuat Jaksa Agung Burhanuddin sakit hati lantaran kecolongan, bahkan diakuinya ada kelemahan di jajaran intelijen, hal itu disampaikan dia, saat Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI pada Senin 29 Juni 2020 silam.
Pemerhati hukum Prof Faisal Santiago mengatakan di peringatan HBA ke-60 yang perlu diperhatikan jajaran pimpinan kejaksaan masih adanya oknum jaksa ‘nakal’. Karena itu perlu ada evaluasi terkait pengawasan dan pembinaan terhadap pejabat struktural terutama eselon I, hal itu diperlukan mengingat sejumlah kejadian belakangan adanya oknum jaksa yang “main mata” dengan orang yang memiliki permasalahan hukum.
“Yang harus segera diisi kursi Jamwas yang sementara ini kosong. Sosoknya harus Jamwas yang memiliki integritas dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap para jaksa dan memeriksanya apabila melanggar kode etik dan menyalahi aturan perundang-undangan,” ucap Faisal kepada media, Jakarta, Jumat (24/7/2020).
Lanjut dia, dengan diisinya posisi Jamwas itu dapat mengembalikan marwah kejaksaan menjadi suatu institusi yang sangat dipercaya oleh masyarakat. Sebab dari survey beberapa lembaga terhadap instansi penegak hukum, kejaksaan menjadi salah satu institusi yang kepercayaan publik menurun.
“Maka perlu adanya terobosan baru dengan segera merombak struktur di bawah Jaksa Agung,” tutur dia.
Dijelaskan dia, kekosongan kursi Jamwas bisa dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja pejabatnya. Sehingga jika diperlukan, posisi Jamwas bisa menjadikan lokomotif untuk melakukan perombakan struktur eselon I.
“Jaksa Agung harus berani mengevaluasi jabatan struktural yang ada dengan mengedepankan kompetensi dan kemampuan. Sebab fakta menunjukkan, tidak sedikit pejabat yang tidak kompeten akibat nepotisme di masa lalu,” ungkap Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur itu.
Senada dengan Prof Faisal, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman pun berharap ada evaluasi kepada pimpinan di tingkat Jaksa Agung Muda (JAM). Dia pun dengan lantangnya menyebut Jam Intelijen perlu diganti, pasalnya dirinya kecewa atas ketidak tahuan jajaran intelijen atas masuknya buronan Joko Tjandra ke Indonesia. Meski, Boyamin belum menemukan ada keterlibatan oknum jaksa ikut dalam pusaran ‘permainan’ Joko Tjandra tersebut.
“Setuju di evaluasi, jika perlu di ganti Jamintelnya karena tak bisa mengendus Buronan Joko Tjandra. Saya kecewa kenapa Kejaksaan bisa tidak tau sampai kebobolan atau kecolongan masuknya boronan Joko Tjandra itu,” ucap Boyamin.
Boyamin menilai belum ditangkapnya Joko Tjandra, ada kegagalan dari Pimpinan Kejaksaan Agung, dalam hal kata dia Jaksa Agung Muda Intelijen. Karena sebagai pimpinan tertinggi tim tabur, hanya bisa menangkap buronan kecil.
“Ini ada apa, koq bisa kecolongan, Jamintel gagal mengendus buronan Joko Tjandra, masak yang kecil-kecil bisa, yang besar tidak bisa, ini kekagalan dia. Karena memburu itu tanggungjawab dia,” cetus Boyamin.
Bahkan kata dia, kalau Jaksa Agung saja bisa merasa sakit hatinya di kelabui Joko Tjandra karena lemahnya intelijen di intansi itu, dia pun memghimbau sebaiknya jajaran Jaksa Agung Muda perlu di evaluasi oleh Jaksa Agung.
Terpisah, Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR) Hari Purwanto menilai, Jaksa Agung mestinya segera mengevaluasi sistem intelijen di kejaksaan. Masyarakat perlu tahu, apakah kecolongan itu, lantaran sistem failure atau by design. Meski, sampai saat ini Jaksa Agung seperti tenang-tenang, padahal dia mengakui kalau intelijennya kecolongan.
“Mestinya Jaksa Agung memeriksa jajaran JAM Intel untuk bisa menisik dimana letak kelemahan sistem intelejennya dan mengumumkan hasilnya ke publik. Jangan sampai masyarakat berpikir kalau top level kejaksaan ada yang bermain mata dengan Joker (Djoko S Tjandra),” tegas Eksponen 98 itu menambahkan kasus Joko Tjandra ibarat puncak Gunung Es, persoalan dalam program perburuan buronan yang berdampak kepada intansi Korps Adhyaksa tersebut. [*/Edw]