Jakarta, Suaranegeri – Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut B. Pandjaitan dengan tegas menyatakan, bahwa pemerintah tidak akan mengorbankan lingkungan demi kemajuan ekonomi.
“Tapi ada _equilibrium_ yang kita cari, tidak bisa juga kita memakai standar Amerika atau standar Eropa, mereka punya sendiri dan kita pun punya sendiri, kami punya tanggung jawab kepada masyarakat. Indonesia berkomitmen untuk energi baru terbarukan atau EBT, dan konsisten untuk melaksanakan itu. Saya garis bawahi disini, saya tidak akan pernah membuat kebijakan yang mencederai anak cucu saya,” ujar Menko Luhut dalam acara Diskusi Panel Institute Essential Services Reform (IESR) bertema Strategi Indonesia Menuju Perekonomian Nir Emisi 2050, dihelat di Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Menurut Menko Luhut, potensi dari EBT di Indonesia masih sangat besar, namun belum digarap optimal, seperti, Panas Bumi dari yang tersedia 17,5 GW dan pemanfaatan baru 1,95 GW, _Micro Hydro_ potensi sebesar 94,3 GW pemanfaatan 0,03 GW, Bio Energi potensi 32,6 GW dan pemanfaatan Bio Massa hanya 1,859 GW.
“Saat ini yang kita manfaatkan masih rendah, kepada kalian generasi muda, ayo ini masalah sekaligus potensi, identifikasi masalahnya, setelah diidentifikasi masalahnya, baru tentukan siapa dan berbuat apa. Di era kalian lah nantinya yang akan menikmatinya,” jelasnya.
Pemerintah, lanjut Menko Luhut juga memiliki program Bio Diesel untuk meningkatkan pemenuhan EBT non listrik, dimulai dari program bauran energi sejak tahun 2006 yaitu B7,5, B20 di tahun 2018 dan B50 ditargetkan akan dimulai di 2020.
“Setelah B20, nanti per 1 Desember kita akan buat B30, tahun depan kita akan buat B40, lanjut B50, kemudian B100. Setelah itu jalan semua, akan terjadi _equlibrium_ jumlah produksi _palm oil_ kita dengan penggunaan dalam negeri hampir sama jumlahnya. Dampaknya 17,5 juta petani sawit kita akan menikmati harga sawit yang bagus, itu membuat angka kemiskinan kita akan menurun,” tambah Menko Luhut.
Selanjutnya, ia menyatakan Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen. Kedua hal tersebut menurutnya, terus dikerjakan oleh Pemerintah secara bersungguh-sungguh, di antaranya dengan program _re-planting_, rehabilitasi mangrove dan _peat land_ (lahan gambut) dan lainnya.
“Kita punya _peatland_ itu 7,5 juta hektar yang dalam kondisi baik, bahkan dulu saya melihat sendiri sewaktu menjadi koordinator penanganan kebakaran hutan, _peatland_ kita ada yang dalamnya sampai 15-20 meter, dan ini tidak ada bahkan di Skandinavia sekalipun. Kita punya 3,1 juta hektar mangrove namun setengahnya sudah rusak, sekarang kita adakan _re-planting program_, ditambah lagi dengan _forestry_, dan ditambah lagi dengan rehabilitasi _coral reef_. Dan kita sudah berkontribusi _carbon credit_ kira-kira 75-80 persen, dan itu cukup besar. Yang paling penting kita jangan hanya bicara, tapi apa aksi kita,” tutup Menko Luhut.
Berdasarkan temuan _Brown to Green Report_ 2019 diterbitkan oleh _Climate Transparency_, sebuah kemitraan global beranggotakan lembaga _think tank_ dan lembaga non pemerintah dari negara-negara anggota G20, emisi CO2 terkait energi di negara-negara anggota G20 melonjak 1,8 persen pada 2018 karena meningkatnya permintaan energi. Dan, emisi transportasi meningkat 1,2 persen pada tahun 2018.
Sumber: share iwo news / Biro Perencanaan dan Informasi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi